Pindah Alamat

Assalamu'alaykum wr.wb.
Blog ini telah dihentikan pengoperasiannya dan dilanjutkan ke blog yang baru di wordpress dengan alamat:
http://eshaykh7007.wordpress.com

Terima kasih

Kehendak Ilahi dan Rida Ilahi



Pertanyaan:
Salam Alaykum Sayyidi,
Saya selalu percaya bahwa sesuatu yang terjadi atau akan terjadi semata-mata adalah sesuai dengan apa yang Allah inginkan, apakah kita menyukainya atau tidak terlepas dari apakah kita merasa “bertanggung jawab”.  Pemahaman ini, masya Allah, mempermudah saya melewati banyak cobaan yang bisa saja menghancurkan keimanan saya.

Saya pikir menyatakan bahwa sesuatu yang terjadi BUKAN karena kehendak Allah, jelas bahwa itu adalah kufr.  Tetapi setelah berdiskusi dengna beberapa murid (yang mengatakan bahwa itu tidak benar) sekarang saya khawatir bahwa saya masih dapat dinodai oleh doktrin penghujatan yang saya ambil ketika saya masih seorang Takfiiri.
Mohon diberikan pemahaman terbaik mengenai hal ini.  Terima kasih wahai guru dan mohon maafkan saya.

Jawaban:
`Alaykum Salam,
Penting untuk mengetahui perbedaan antara apa yang dikehendaki Allah dengan apa yang Allah cintai.  Sebagaimana seorang guru dalam akidah Maturidi yaitu Siraj al-Din `Ali ibn `Utsman al-Ushi (w. 569) berkata di dalam puisinya Manzumat Bad’ al-Amali (ayat 4):
[Allah adalah] Dzat yang menghendaki kebaikan dan juga keburukan,
Namun, Dia tidak pernah rida dengan kesalahan sama sekali!

مُرِيدُ الْخَيْرِ وَالشَّرِّ الْقَبِيحِ
وَلَكِنْ لَيْسَ يَرْضَى بِالْمُحَالِ

Kehendak Ilahi (irada, masyi’a) secara mutlak mencakup segala sesuatu yang terjadi pada makhluk.  Tidak ada sesuatu yang terjadi tanpa Kehendak-Nya, termasuk semua perbuatan dari para pendosa.  Namun demikian, Cinta Ilahi (mahabba) dan Restu Ilahi (Ridha) berlaku hanya pada apa yang Allah (swt) perintahkan, bukan pada kejahatan atau keburukan. 

Dengan demikian, jika dengan kalimat Anda, “apa yang Allah inginkan”, Anda maksud Kehendak-Nya, maka bisa dikatakan Anda benar; tetapi kalau tidak demikian maka itu tidak benar.
 
Hajj Gibril Haddad

Otoritas Nabi Muhammad (s)



Pertanyaan:
Assalam o alaikum,
Apakah kita harus percaya bahwa Nabi kita (shallallahualaihiwasallam) adalah pemilik dari otoritas mutlak?  Beliau akan memberikan apa yang beliau inginkan kepada siapapun yang beliau inginkan.  Seluruh alam semesta telah diberikan sebagai milik Nabi (shallal laahu alaihi wasallam)… Beliau dapat melakukan apa saja yang beliau inginkan dan beliau dapat memberi kepada siapa saja yang beliau inginkan dan beliau juga dapat mengambil apapun dari siapapun yang diinginkannya?  Seluruh Surga adalah miliknya?  Apakah itu tidak menyamakan kekuasaan Nabi (shallallahualaihiwasallam) dengan kekuasaan Allah?

Jawaban:
Alaykum Salam,
Ini tidak benar.  Akidah yang benar adalah apa yang dikatakan sendiri oleh Nabi Suci (semoga keberkahan dan kedamaian tercurah padanya): “Allah adalah Yang Maha Memberi dan aku hanyalah yang menyalurkannya.” (Sahih al-Bukhari)

مَنْ يُرِدْ اللَّهُ بِهِ خَيْرًا يُفَقِّهْهُ فِي الدِّينِ وَاللَّهُ الْمُعْطِي وَأَنَا الْقَاسِمُ

Hajj Gibril Haddad

Melihat Kucing Menyebrang Jalan



Pertanyaan:
Salam,
Ada suatu kepercayaan bahwa melihat seekor kucing menyebrang jalan adalah tanda kesialan.   Apakah ini ada di dalam konteks Islam, apakah Muslim mempercayai hal ini?
Zajakallah

Jawaban:
A`udzu billahi min asy-syaythan ir-rajiim
Bismillahi ‘r-Rahmani ‘r-Rahiim
Tidak.

Abdul Shakur

Sufisme Universal



Pertanyaan:
Assalamualaikum Saudara-Saudara,
Saya ingin bertanya pada Anda, bagaimana pandangan Mawlana Syekh Nazim dan Mawlana Syekh Hisyam Kabbani mengenai Sufisme Universal dan Hazrat Inayat Khan dan juga Lleywellyn Vaughan Lee.  Apakah aman untuk mengikuti Sufisme Universal dan apakah salah bila mempunyai seorang guru yang bukan Muslim?
Mohon jawabannya secara detail karena itu akan memperjelas keraguan yang ada di dalam kehidupan saya saat ini.  Terima kasih atas bantuannya.
Semoga Allah (swt) memanjangkan umur Syekh Nazim tercinta!

Jawaban:
`Alaykum Salam,
Mawlana Syekh Nazim (semoga Allah memberkati rahasianya) sangat tidak setuju dengan mereka ketika beliau mendengar mereka mengatakan bahwa dia mempunyai hubungan dengan Allah (swt).  Gerakan itu dianggap sebagai filosofi buatan manusia dan langkah-langkah spiritual bayi yang kelihatannya benar bagi sebagian orang barat, tetapi mereka tetap perlu menerima agama dan mengikuti Nabi (s).  Sampai mereka melakukan hal itu, mereka masih  berada di luar batas.

Hajj Gibril Haddad

Mencium Tangan Ulama, Hati-Hati terhadap Fitnah


"Adapun untuk pertanyaan mengenai mencium tangan ulama, itu diperbolehkan untuk melakukannya terhadap ulama yang cermat, seorang penguasa yang adil, orang tua seseorang, guru seseorang, dan orang-orang yang pantas untuk dihormati dan dimuliakan." ~Syekh Ali Gomaa, Mufti Besar Mesir.


Al-Nafrawi berkata, ‘Sebuah contoh untuk ini adalah seorang Badui yang bertanya kepada Nabi (s), “Tunjukkan aku suatu tanda,’ lalu Nabi (s) bersabda, ‘Pergilah ke pohon itu dan katakanlah kepadanya, ‘Nabi memanggilmu.’  Pohon itu bergerak ke kanan dan ke kiri untuk mendatangi Nabi (s) dan berkata, ‘Semoga kedamaian tercurah padamu wahai Rasulullah (s).’  Lalu Nabi (s) berkata kepada orang Badui itu, ‘Katakan agar ia kembalil,’ dan pohon itu pun kembali ke tempatnya semula.  Orang Badui itu mencium tangan dan kaki Nabi (s) dan menjadi seorang Muslim.  Dan ada beberapa riwayat yang serupa.

Ibn Qasim al-‘Ibadi berkata, “Adalah sunnah untuk mencium tangan seorang ulama, orang yang saleh, ahlul bait Nabi (s), dan seorang zuhud sebagaimana yang dilakukan oleh para Sahabat kepada Nabi (s).

Pada poin ini penting untuk mengingat Hadits Nabi (s) berikut, "Al-fitnatu naimatun, la’na Allahu man ayqazhaha, -- “Fitnah, pertikaian, dan masalah adalah dalam keadaan tertidur.  Allah mengutuk orang yang membangunkannya.”

Kita harus selalu mengingatkan diri kita sendiri mengenai ayat berikut dari kitab suci al-Qur’an di mana Allah (Subhaanahu Wata'ala) berfirman, “Wahai orang-orang yang beriman!  Jika datang kepadamu seorang fasik membawa berita, maka periksalah dengan teliti, agar kamu tidak menimbulkan suatu musibah kepada suatu kaum tanpa mengetahui keadaannya yang menyebabkan kamu menyesal atas perbuatanmu itu. (Surat Al-Hujurat, 49:6)”

Nabi Prophet (s) bersabda,

حاسبوا أنفسكم قبل أن تحاسبوا

Haasibuu anfusikum qabla an tuhaasabuu.
Hisablah dirimu sendiri sebelum kamu akan dihisab.

Allah (Subhaanahu Wata'ala) berfirman:
"Ingatlah!  Sesungguhnya wali-wali Allah itu, tidak ada kekhawatiran terhadap emreka dan tidak (pula) mereka bersedih hati. (Wali-wali Allah adalah termasuk yang terbaik di antara makhluk-Nya.) (Surah Yunus, 10:62).

Di dalam Hadits Qudsi, sekali lagi Allah (Subhaanahu Wata'ala) berfirman, “Aku (Allah) menyatakan perang terhadap orang-orang yang memerangi para Awliya-Ku.” (Hadits Qudsi Bukhari).

Menu Kosher


Posted on May 6, 2013 by eshaykheditor

Pertanyaan:
Fadhilatusy Syekh yang saya hormati, assalamu’alaikum wr wb,
Saya ingin berterima kasih atas jawaban dan undangannya.
Terkait dengan subjek di atas, saya berhadap Anda dapat memberi pencerahan kepada saya mengenai kosher.  Dapatkah kita makan dari restoran yang menghidangkan menu kosher?
Terima kasih, wassalam,
Al-Faqir

Jawaban:
Alaykum Salam ya Ustaz,
Daging mentah dari hewan yang disembelih berdasarkan persyaratan kosher adalah halal.  Namun demikian, ini tidak berarti bahwa makanan yang disajikan dari daging itu secara otomatis adalah halal karena koki atau chef non-Muslim mungkin menggunakan wine atau tipe alkohol lainnya untuk menyiapkan sausnya, seperti veal blanket atau beef Bourguignon. (Tidak benar jika dikatakan bahwa “alkoholnya akan menguap” dan bahkan jika ya, makanan yang dimasak di dalamnya akan menjadi najis, dan oleh sebab itu menjadi Haram, menurut pandangan bahwa alkohol yang diproduksi untuk dikonsumsi adalah najis).  Contoh lainnya adalah “Coklat Kosher” yang artinya mereka adalah lard-free (bebas lemak babi), tetapi tidak harus bebas alkohol.  Jadi jawabannya adalah ya bersyarat, yaitu: bahwa setiap makanan yang secara autentik ditandai kosher adalah halal asalkan diketahui bahwa ia tidak mengandung alkohol dari awal sampai akhir.

WAllahu a`lam.

Gibril Haddad